Pemimpin Sangat Dibutuhkan di Dunia VUCA

Saat ini para ahli berpendapat, bahwa kita hidup dalam dunia VUCA, yang penuh gejolak, sulit diprediksi, kompleks, dan penuh ketidakpastian.  

Selanjutnya kita perlu mengenal wicked problem atau persoalan yang jahat. Dinamakan demikian karena persoalan ini sulit dipecahkan. Jalan keluar bagi persoalan yang jahat tersebut sulit terlihat. Pihak-pihak yang terlibat dalam persoalan itu, baik sebagai penyebab, maupun yang akan merespon juga tidak terlalu jelas perannya. 

Wicked problem dalam berbagai kesempatan juga sering dinamakan krisis. Karakteristiknya pun sama persis, bahkan masih ditambah beberapa hal. Misalnya, satu solusi untuk menyelesaikan persoalan justru menyebabkan persoalan lain.  

Terkadang, orang mengira sudah menyelesaikan persoalan, ternyata baru menyentuh permukaan masalah. Sebab, dalam krisis, kadang akar persoalan tidak terlihat dan hanya simptom atau gejala yang dipecahkan. Akibatnya, persoalan tersebut akan terus berada di sana tanpa kejelasan kapan akan berakhir dan terselesaikan.   

Perlunya Seorang Pemimpin 

Dalam dunia VUCA, yang sering menyebabkan wicked problem dan juga krisis, maka yang diperlukan adalah seorang pemimpin. Dia adalah seseorang yang mampu menahkodai kapal dengan baik di tengah badai dan gelombang permasalahan.  

Dia mampu mendayagunakan akal pikirnya dengan baik. Selain itu, keterampilan yang dimilikinya pun mampu diterapkan pada saat yang tepat.  

Dia mengetahui siapa saja pihak yang perlu dilibatkan dalam krisis. Dia mengetahui siapa kawan, siapa lawan, dan kenal betul medan pertempuran yang harus dihadapi.  

Pemimpin tersebut mampu menelusuri sebuah persoalan hingga menemukan akar persoalan sesungguhnya. Hingga kemudian dia pun mampu mencari jalan keluar dan menyelesaikan krisis.  

Saat krisis terjadi, kita dapat belajar dari para pemimpin. Misalnya dari para pemimpin perempuan (masukkan di sini tulisan tentang para pemimpin perempuan). Selain itu, kita pun dapat belajar dari pemimpin yang telah melalui berbagai krisis.  

Namun demikian, tak jarang banyak pemimpin yang diharapkan mampu memimpin saat krisis justru jatuh ke dalam jebakan-jebakan berikut ini:  

  1. Memiliki pandangan yang sempit 

Sebagai bagian dari perlindungan diri, maka otak manusia didesain untuk fokus pada ancaman-ancaman yang terlihat. Kondisi ini menyebabkan kecenderungan untuk menyempitkan sudut pandang dan hanya berfokus pada ancaman yang akan segera terjadi.  

Pemimpin di sisi lain diharapkan untuk mengambil jarak. Dengan begitu, dia bisa berada di tengah untuk melihat berbagai hal baik yang berada di depannya, di sekitarnya, hingga yang di belakangnya.  

Umumnya, proses ini sering dinamakan meta-leadership, ketika seorang pemimpin menggunakan sudut pandang yang luas dan lengkap serta menyeluruh. Dia melihat bukan hanya tantangan, tetapi juga peluang.  

Salah satu cara yang dapat ditempuh adalah dengan membuat peta hubungan. Dalam peta ini menyajikan berbagai hal terkait dan situasi yang mungkin terjadi karena dan berhubungan dengan krisis.  

Beberapa hal itu di antaranya mengenai kebijakan, peraturan, hukum, kelanjutan bisnis, politis, ekonomi, sosial, hingga kesehatan. Isu lain yang terkait seperti komunitas terdampak, dampak terhadap lingkungan, koordinasi dengan berbagai institusi, dan masih banyak lagi.  

  1. Terlalu Asyik Mengelola 

Meskipun memimpin saat krisis bisa jadi begitu menantang dan menggelontorkan adrenalin. Namun, jebakan yang terjadi adalah seringkali seorang pemimpin kembali ke zona nyamannya yang lebih fokus untuk memimpin saat ini.  

Padahal saat krisis, diperlukan pandangan jauh ke depan. Pemimpin dalam situasi krisis perlu mengantisipasi apa tantangan yang akan terjadi minggu depan, bulan depan, hingga tahun-tahun mendatang. Semua ini diperlukan untuk menyiapkan organisasi akan perubahan yang akan terjadi di masa datang.  

Pemimpin saat krisis juga harus mampu mendelegasikan tugas dan mempercayai anggota saat mereka membuat keputusan yang sulit, memberikan dukungan yang cukup, dan arahan berdasarkan pengalaman tanpa tergoda untuk mengambil alih.  

Krisis dapat terjadi setiap saat, organisasi di industri yang berisiko tinggi, seperti energi dan penerbangan, memiliki fungsi yang mumpuni untuk bidang kesehatan, keselamatan, keamanan, dan lingkungan. Semua itu diperlukan untuk membantu pengelolaan saat krisis terjadi.  

Kepercayaan yang tinggi para pemimpin kepada anggotanya terutama pada bidang-bidang yang sudah disebutkan terdahulu akan membuat mereka fokus pada upaya untuk keluar dari krisis. Bahkan, mereka dapat merencanakan untuk dapat keluar dengan lebih kuat dari kondisi sebelum krisis terjadi.  

Namun, tanpa kepercayaan itu, maka mereka terjebak untuk mengelola hal yang remeh temeh dalam aksi yang dilakukan, mengganggu irama pekerjaan manajer yang melakukan respon, melemahkan keinginan mereka sendiri untuk menghasilkan berbagai hal yang positif.  

  1. Melakukan Respon yang Terlalu Terpusat 

Risiko dan ketidakpastian semakin meningkat saat krisis karena berbagai gejolak dan ketidakpastian. Bagi seorang pemimpin, jebakan yang mungkin terjadi adalah mencoba untuk mengontrol berbagai hal.  

Kemudian, karena aksi tersebut, maka pemimpin tersebut membuat lapisan baru untuk keputusan-keputusan yang kecil. Akibatnya, organisasi menjadi kurang responsif dan muncul frustasi pada setiap tantangan.  

Manakala kondisi itu terjadi, maka perlu diputuskan keteraturan ketimbang melakukan kontrol. Order berarti anggota mengetahui apa yang diharapkan dari mereka dan apa yang bisa diharapkan mereka dari orang lain.  

Langkah ini, hanya bisa dilakukan jika pemimpin dengan rendah hati mampu mengakui bahwa dia tidak bisa mengontrol berbagai hal. Selanjutnya, pemimpin perlu menetukan apa saja keputusan-keputusan yang perlu diambilnya dan kemudian mendelegasikan lainnya.  

Guna melakukan hal tersbut, maka perlu menyampaikan dengan jelas mengenai petunjuk, nilai-nilai, dan prinsip, serta melupakan keinginan untuk melakukan berbagai hal sendiri.  

Ilustrasi ini mungkin dapat membantu Anda. Saat terjadi krisis, maka pemimpin akan datang ke pusat operasi dan menanyakan apa yang bisa dibantu olehnya. Dia menghindari menyuruh orang untuk melakukan berbagai hal.  

Sebaliknya, dia tahu persis, apa yang dilakukan oleh setiap orang dan kapasitas masing-masing anggota.  Dia pun menyadari apa kapasitas terbesar yang dimilikinya, misalnya sebagai seorang komunikator untuk menenangkan masyarakat, memperoleh bantuan, menghubungkan dan berkolaborasi dengan berbagai pihak dan lainnya. 

  1. Melupakan Sisi Kemanusiaan 

Krisis adalah krisis, karena dampaknya pada manusia.  

Sementara itu, fokus pemimpin dapat terjebak pada ukuran-ukuran harian seperti , pertumbuhan ekonomi, pasar saham, nilai tukar, dan biaya yang mungkin timbul.  

Beberapa hal tersebut memang penting, tetapi itu adalah hasil dari koordinasi upaya-upaya manusia yang beragam. Organisasi ada untuk memenuhi secara bersama-sama hal-hal yang tidak mampu kita lakukan sendiri.  

Jalan keluar yang bisa dilakukan adalah menyatukan orang-orang ke dalam upaya, tujuan, dan nilai-nilai yang dianut ke dalam satu tim yang kompak.  

Upaya itu dapat dilakukan dengan pemahaman yang seragam dan misi yang disampaikan dengan jelas, sehingga mempengaruhi pekerjaan yang dilakukan untuk mencapai tujuan.    

Misi ini diwujudkan dalam pendekatan inklusif yang melibatkan banyak pihak dan setiap orang memahami bagaimana dia dapat berkontribusi, serta yang paling penting setiap kontribusi, bahkan yang paling sepele pun diakui.  

Sedikit ilustrasi mengenai hal ini adalah ketika krisis terjadi dan seorang pemimpin berfokus pada bisnisnya di satu sisi dan berfokus pada manusia di sisi lainnya. Menurut teori ini, pemimpin yang berfokus pada manusia dengan datang secara pribadi ke pemakaman, melanjutkan gaji dan bonus, serta upaya lain kepada manusia akan lebih berhasil.  

Pemimpin yang berfokus pada manusia percaya, bahwa pada gilirannya isu-isu bisnis akan normal kembali dengan sendirinya saat manusia-manusia di belakangnya sudah kembali seperti sedia kala.   

Penutup

Kegiatan memimpin dan mengelola (manajer) ibarat dua lingkaran pada sebuah diagram Venn. Saat krisis terjadi, keduanya dapat saling tumpang tindih. Namun, seiring berjalannya waktu, keduanya pun akan terpisah.  

Kendati demikian, memimpin dan mengelola tak benar-benar berpisah, sebab saat ini dan masa datang pun saling terkait.  

Pemimpin yang paling efektif saat krisis mampu atau memiliki seseorang yang melakukan tindakan pengelolaan (manajerial activities).  

Sementara pada saat yang sama dirinya sendiri berfokus pada upaya mencari jalan keluar dan sekaligus memimpin kita semua keluar dari krisis dan menyambut masa depan yang lebih menjanjikan.  

Sumber tulisan dari Harvard Bussiness Review dengan Perubahan

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Psikologi dan Perannya untuk Pemimpin Saat Krisis

Hal-hal yang Akan Terjadi pada Seorang Pemimpin

Memimpin ke Bawah (Lead Down)